Dina menatap kosong papan tulis di hadapannya. Bukan karena papan tulis itu bersih tapi justru karena penuh catatan bejibun rumus kalkulus yang dimata Dina lebih mirip hieroglyph. “Waduh, bisa cepet tua nih aku kalo kayak gini mulu,” gumam Dina.
“Perasaan tiap hari kamu ngomong gitu terus deh..”
Dina menoleh pada cowok di sampingnya. “Oh ya? Masa sih?”
“Yaelaah... “ tukas Ravi sambil geleng-geleng kepala. Takjub.
“Pak Darman tuh hobi banget sih nyiksa orang pake rumus-rumus gitu? Tiap hari lagi ! Kayaknya tuh orang ngerasa nggak afdol kali ya kalo belum mamerin spesies rumus-rumus di kelas,” lanjut Dina menggerutu.
“Alaa.. masi mendingan juga kalian-kalian ini yang notabene cewek. Bapak itu kan rada jelatatan, pilih kasih kalo sama cewek. Liat ada yang ‘bagus’ dikit aja pasti langsung di uber deh..”
Dina mengernyitkan dahinya. Heran. “Tahu darimana kamu, Rav ?”
“Hahahaa.. topik basi, tahu ! Kadang juga aku heran lho. Cakep juga enggak. Tajir? Lumayanlah.. Kulitnya juga sawo matang, nggak putih. Kalo urusan keren.. Apalagi. Nggak banget deh. Tapi kok bapak itu pede bener yah terang-terangan menganak-emaskan cewek-cewek. Dasar hidung belang. Apalagi sama si Nabila. Nilai-nilai kalkulus Nabila juga bagus-bagus lho katanya,” seloroh Ravi tanpa dosa.
“Heh ! Kurang ajar sama orang tua, kualat lho ntar.. terus apa tadi ? Sawo matang? Udah bukan sawo matang lagi kali, tapi kayak biji sawo! ”
“Sekarang siapa yang kurang ajar?” balas Ravi. Dina hanya menimpali dengan senyum masam, apalagi setelah nama Nabila disebut-sebut. Langsung menyeret tingkat moody-nya pada level yang paling dasar. Hatinya sakit saat mendengar nama itu di sebut. Betapa tidak ? Dina harus mengenyahkan kenyataan bahwa hubungan asmaranya dengan Ardi yang umurnya udah hampir 3 taun harus putus karena Ardi nyeleweng. Dan cewek yang berstatus sebagai orang ketiga itu.. Nabila. Yah, siapa lagi. Cantik, langsing, putih, rambut panjang, tajir ! Wow, bener-bener tipekal yang perfect abis buat sebagian cowok. Apalagi cowok macem Ardi yang tabiatnya emang suka pamer. Sayang Nabila otaknya kosong. Dina inget pas mereka baru jadian (di hari yang sama saat Dina-Ardi putus), Ardi lewat di depannya sambil memberikan ekspresi ‘kamu-nggak-ada-apa-apanya-dibandingin-Nabila’ melenggang santai sambil membiarkan si cewek plastik itu bergelayut manja di salah satu lengannya. Oh-oh.. Cewek plastik? Ya, tentunya Dina punya alasan kenapa panggilan itu lebih pas. Demi menunjang penampilan yang ngebuat cowok nggak berkedip, Nabila rela tubuhnya mendapat suntikan di bagian sana sini. Rupiah jelas bukan masalah buat dia.
“Ngapain kalian berdua masih di sini? Bukannya kuliah Pak Darman udah kelar dari tadi?”
Deg ! Dina hapal betul suara siapa itu. Ardi. Panjang umur nih cowok, baru juga di batin. “Lagi nyatet aja. Lo bisa lihat sendiri kan? Itu juga kalo lo punya mata,” jawab Ravi dingin. Ravi satu-satunya sahabat cowok Dina yang paling ‘ngerti’ apa dan bagaimana seorang Arindina. Dia bahkan nyaris nonjok Ardi pas Dina cerita mereka putus karena si cewek plastik.
Sadar pertanyaannya disambut dengan tajam sama Ravi, Ardi malah cuek duduk di depan Dina dan sambil tersenyum (yang pastinya dibuat-buat) dia bilang, “ Hai Din. Lama ya nggak ngobrol. Apa kabar ? ”
Gimana cara menjawab pertanyaan sederhana tadi ya? Kalo itu datang pada saat yang biasa, dari orang yang biasa saja dan dalam situasi yang biasa juga, mungkin jawabannya juga pasti bakal biasa aja. Well, pastinya Dina nggak bisa bilang,” Baik, thanks.” Sementara sebenernya pengen banget jawab, “Nggak ada urusannya sama kamu, cowok brengsek !!” Tapi tentu bagi jenis cewek baik-baik macam dia, memalukan kalo tata kramanya harus hancur cuma gara-gara hal sepele. Nggak level dong. Akhirnya dia jawab,”Kayak yang kamu lihat,” dengan ekspresi sebeku es di Antartika. Dingin.
Ini emang bukan kali pertama Ardi nyamperin Dina pasca insiden putusnya dua sejoli itu. Seenggaknya dalam sebulan terakhir ini, rutinitas Ardi nyamperin Dina makin sering. Hampir lebih sering dari jadwal orang minum obat. Meski Dina cuek, tapi reaksi Ravi berbeda. Ravi terkesan lebih agresif pada momen-momen tertentu saat mereka bertiga ada dalam lingkup dimensi yang sama. Cowok maskulin itu jelas-jelas memposisikan dirinya sebagai tameng bagi Dina. Ardi tahu betul benih cinta buat Dina sudah tertanam lama di hati Ravi. Benih itu mulai tumbuh seiring retaknya jalinan kasih Dina-Ardi. Sayangnya, mata Dina terlalu rabun buat melihat binar-binar ketulusan di mata Ravi. Dina juga nggak peka menangkap pendar-pendar cinta di setiap tatapan Ravi. Lubang di hati Dina masih terlalu sakit hingga membutakan nalurinya.
“Kamu masih sayang sama dia, Din ?” tanya Ravi lirih setelah Ardi hengkang dari sana.
“Enggak sama sekali..” jawab Dina perlahan. Ada keraguan yang sarat di sana. Tentu saja enggak mungkin dia langsung bisa ngelupain Ardi, cinta pertamanya itu begitu saja. Sosok Ardi masih menjadi batu sandungan baginya. Bahkan kapanpun Dina merasa semangat hidupnya melemah, dia cukup mengeluarkan foto Ardi (yang masih sengaja disimpannya) kemudian melakukan sayatan-sayatan di foto itu dengan silet sambil meracau sumpah serapah atau bahkan kutukan dan dijamin semangat Dina bakal langsung melejit seenggaknya 100 persen.
“Aku.. “ ucap Ravi ragu-ragu. Dina bingung melihat mimik wajah Ravi yang kontan berubah pucat. “Kenapa, Rav ?” tanya Dina khawatir.
“Aku.. Aku suka kamu, Din.”
Hening.
“Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku sayang kamu, Din. Sekarang. Mudah-mudahan sih sampe nanti-nanti..” Pengakuan polos Ravi kontan membuat Dina dag-dig-dug-der. Andai tubuhnya itu komputer mungkin langsung shut down saat itu juga. Dina merasa ini sesuatu yang salah. Bukankah mereka bersahabat ? Bukankah Ravi tahu Dina baru putus dari Ardi 5 bulan lalu setelah 3 tahun jalinan kasih mereka ?
Dunia selalu bergulir dengan cara yang aneh. Susah ditebak. Memang takdir atau hanya kebetulan semata, siapa yang tahu? Siapa yang berani menebak? Barangkali hal yang kita anggap sepele sekalipun di masa depan nantinya akan memberikan dampak yang luar biasa. Teorinya, memang begitu. Nggak ada yang dapat benar-benar di salahkan. Lantas, apa perasaan Ravi itu salah ? Kalo itu salah kenapa Dina merasa bahwa perasaan yang salah itu adalah hal yang benar ? Berbagai pikiran ayik singgah di kepala Dina. Bermain kejar-kejaran membuyarkan logikanya dan seakan mereka berkata mengejek ,” Apa hati kamu udah bener-bener buta, Arindina ? Ternyata bukan hanya jatuh cinta tapi patah hati juga bisa membuat seseorang menjadi buta dan tuli di saat yang bersamaan sekaligus !”
“Kalo kamu nggak mau ngomong apa-apa.. nggak masalah kok,” tukas Ravi sambil tersenyum. Senyuman memabukkan yang kalo di pamerin ke cewek lain (selain Dina yang udah terbiasa dapet senyum kayak gitu) pasti bakal bikin cewek-cewek pada ber-ahh dan ber-ohh saking manisnya. “Dina, aku balik duluan ya. Ada perlu ke toko buku,” lanjut Ravi gugup sambil beranjak dari sisi Dina.
Dina beranjak dari kelas dengan ogah-ogahan. “Dinaa..” panggil Ardi saat Dina melintas di koridor. “Kenapa lagi ?” balasnya jutek. “Aku mau ngomong bentar. Bisa kan, Din ?” sambung Ardi gelagapan.
“Ya udah buruan ngomong.”
“Ehm.. ngomong di tempat lain aja ya. Gimana kalo di cafe kita yang biasanya aja?”
“Ngomong sekarang atau nggak usah sekalian !” tegas Dina galak. Dengan raut terpaksa, Ardi akhirnya bilang tentang keinginannya buat balikan sama Dina. Nggak ketinggalan sekilas info mengenai tingkah laku dan perlakuan Nabila ke Ardi yang lebih mirip tuan putri pada pembokatnya.
* * *
Dina melangkah pelan (mungkin lebih tepatnya merayap saking leletnya) menuju jalan raya di depan kampus. Pikirannya kacau apalagi setelah pengakuan Ardi barusan. Dina nggak sadar sebuah Honda Jazz melaju dengan kecepatan cahaya menuju ke arahnya. Pada detik yang sama, sepasang lengan kekar meraup tubuhnya dan dengan sekali hentakan melentingkan tubuh Dina ke tepi. Seperti kilat, segala sesuatunya terjadi begitu cepat. Jalanan langsung ramai. Semua orang tumpah ruah disana bak lautan manuia. Penasaran, Dina pun mendekat berusaha menyeruak diantara lautan manusia dadakan itu sambil menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Serasa di hantam batu seberat 1 ton, Dina menatap tubuh terkapar di hadapannya. Ravi. Darah segar mengucur dari pelipis kirinya. Ingin rasanya menjerit tapi kerongkongannya tercekat. Dina hanya mampu terpaku, membatu di tepi jalan sampai sebuah ambulans mengangkut tubuh Ravi.
Ravi, sahabat terbaiknya itu kini terbaring lemah di ICU. Cowok yang beberapa saat lalu baru saja menyatakan perasaannya pada Dina itu kini tengah meregang nyawa karenanya. Dina terluka. Bukan fisik, tapi batin. Harapan itu memang masih ada. Harapan untuk dapat memupuk kembali bunga cintanya bersama Ardi yang dulu sempat layu. Jauh di dalam hatinya nama Ardi memang masih terukir manis. Meski nggak lagi semanis dulu. Tapi biar bagaimanapun Ardi adalah cinta pertamanya. Dan kayaknya 5 bulan itu waktu yang nggak cukup buat sekadar mengenyahkan bayang-bayang Ardi yang emang udah nongkrong tahunan di hatinya. Di saat yang sama, lubang di hati Dina menganga kembali, menghadirkan atmosfer pilu yang menyayat perih hatinya. Lubang yang selama 5 bulan terakhir ini menguras air matanya.